Cerita ini diawali dari jaman aku sma. Dulu waktu aku sma, aku selalu pilih-pilih dalam mencintai wanita. Hal ini yang jadi awal mula cerita s*ks sekaligus cerita s*x yang akan aku ceritakan disini. Itulah mungkin yang mengakibatkan cerita s*ks sed*rah ini terjadi.
Aku tak pernah mendekati seorang cewek pun di SMA. Padahal boleh dibilang aku ini bukan orang yang jelek-jelek amat. Para gadis sering histeris ketika melihat aku beraksi dibidang olahraga, seperti basket, lari dan sebagainya.
Dan banyak surat cinta cewek yang tidak kubalas. Sebab aku tidak suka mereka. Untuk masalah pelajaran aku terbilang normal, tidak terlalu pintar, tapi teman-teman memanggilku kutu buku, padahal masih banyak yang lebih pintar dari aku,
Mungkin karena aku mahir dalam bidang olahraga dan dalam pelajaran aku tidak terlalu bodoh saja akhirnya aku dikatakan demikian. Ketika kelulusan, aku pun masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di Malang. Di sini aku numpang di rumah bibiku. Namanya Sinta.
Aku biasanya memanggilnya mbak Sinta, kebiasaan dari kecil mungkin. Ia tinggal sendirian bersama kedua anaknya, semenjak suaminya meninggal ketika aku masih SMP ia mendirikan usaha sendiri di kota ini. Yaitu berupa rumah makan yang lumayan laris, dengan bekal itu ia bisa menghidupi kedua anaknya yang masih duduk di SD.
Ketika datang pertama kali di Malang, aku sudah dijemput pakai mobilnya. Lumayanlah, perjalanan dengan menggunakan kereta cukup melelahkan. Pertamanya aku tak tahu kalau itu adalah mbak Sinta. Sebab ia kelihatan muda.
Aku baru sadar ketika aku menelpon hp-nya dan dia mengangkatnya. Lalu kami bertegur sapa. Hari itu juga jantungku berdebar. Usianya masih 32 tapi dia sangat cantik. Rambutnya masih panjang terurai, wajahnya sangat halus, ia masih seperti gadis.
Dan di dalam mobil itu aku benar-benar berdebar-debar.
“Capek Dek Reno?”, tanyanya.
“Iyalah mbak, di kereta duduk terus dari pagi”, jawabku. “Tapi mbak Sinta masih cantik ya?”
Ia ketawa, “Ada-ada saja kamu”.
Selama tinggal di rumahnya mbak Sinta. Aku sedikit demi sedikit mencoba akrab dan mengenalnya. Banyak sekali hal-hal yang bisa aku ketahui dari mbak Sinta. Dari kesukaannya, dari pengalaman hidupnya. Aku pun jadi dekat dengan anak-anaknya. Aku sering mengajari mereka pelajaran sekolah.
Tak terasa sudah satu semester lebih aku tinggal di rumah ini. Dan mbak Sinta sepertinya adalah satu-satunya wanita yang menggerakkan hatiku. Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Tapi aku tak yakin apakah ia cinta juga kepadaku. Apalagi ia adalah bibiku sendiri.
Malam itu sepi dan hujan di luar sana. Mbak Sinta sedang nonton televisi. Aku lihat kedua anaknya sudah tidur. Aku keluar dari kamar dan ke ruang depan. Tampak mbak Sinta asyik menonton tv. Saat itu sedang ada sinetron.
“Nggak tidur Wan?”, tanyanya.
“Masih belum ngantuk mbak”, jawabku.
Aku duduk di sebelahnya. Entah kenapa lagi-lagi dadaku berdebar kencang.
Aku bersandar di sofa, aku tidak melihat tv tapi melihat mbak Sinta. Ia tak menyadarinya. Lama kami terdiam.
“Kamu banyak diam ya”, katanya.
“Eh..oh, iya”, kataku kaget.
“Mau ngobrolin sesuatu?”, tanyanya.
“Ah, enggak, pingin nemeni mbak Sinta aja”, jawabku.
“Ah kamu, ada-ada aja”
“Serius mbak”
“Makasih”
“Restorannya gimana mbak? Sukses?”
“Lumayanlah, sekarang bisa waralaba. Banyak karyawannya, urusan kerjaan semuanya tak serahin ke general managernya. Mbak sewaktu-waktu saja ke sana”, katanya. “Gimana kuliahmu?”
“Ya, begitulah mbak, lancar saja”, jawabku.
Aku memberanikan diri memegang pundaknya untuk memijat. “Saya pijetin ya mbak, sepertinya mbak capek”.
“Makasih, nggak usah ah”
“Nggak papa koq mbak, cuma dipijit aja, emangnya mau yang lain?”
Ia tersenyum, “Ya udah, pijitin saja”
Aku memijiti pundaknya, punggungnya, dengan pijatan yang halus, sesekali aku mer*ba ke bahunya. Ia memakai tshirt ketat. Sehingga aku bisa melihat lekukan tubuh dan juga tali b*-nya. D*d*nya mbak Sinta besar juga. Tercium bau harum parfumnya.
“Kamu sudah punya pacar Wan?”, tanya mbak Sinta.
“Nggak punya mbak”
“Koq bisa nggak punya, emang nggak ada yang tertarik ama kamu?”
“Saya aja yang nggak tertarik ama mereka”
“Lha koq aneh? Denger dari mama kamu katanya kamu itu sering dikirimi surat cinta”
“Iya, waktu SMA. Kalau sekarang aku menemukan cinta tapi sulit mengatakannya”
“Masa’?”
“Iya mbak, orangnya cantik, tapi sudah janda”, aku mencoba memancing.
“Siapa?”
“Mbak Sinta”.
Ia ketawa, “Ada-ada saja kamu ini”.
“Aku serius mbak, nggak bohong, pernah mbak tahu aku bohong?”,
Ia diam.
“Semenjak aku bertemu mbak Sinta, jantungku berdetak kencang. Aku tak tahu apa itu. Sebab aku tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Semenjak itu pula aku menyimpan perasaanku, dan merasa nyaman ketika berada di samping mbak Sinta. Aku tak tahu apakah itu cinta tapi, kian hari d*d*ku makin sesak. Sesak hingga aku tak bisa berpikir lagi mbak, rasanya sakit sekali ketika aku harus membohongi diri kalau aku cinta ama mbak”, kataku.
“Wan, aku ini bibimu”, katanya.
“Aku tahu, tapi perasaanku tak pernah berbohong mbak, aku mau jujur kalau aku cinta ama mbak”, kataku sambil memeluknya dari belakang.
Lama kami terdiam. Mungkin hubungan yang kami rasa sekarang mulai canggung. Mbak Sinta mencoba melepaskan pelukanku.
“Maaf wan, mbak perlu berpikir”, kata mbak Sinta beranjak.
Aku pun ditinggal sendirian di ruangan itu, tv masih menyala. Cukup lama aku ada di ruangan tengah, hingga tengah malam kira-kira. Aku pun mematikan tv dan menuju kamarku. Sayup-sayup aku terdengar suara isak tangis di kamar mbak Sinta. Aku pun mencoba menguping.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Aku menunduk, mungkin mbak Sinta kaget setelah pengakuanku tadi. Aku pun masuk kamarku dan tertidur. Malam itu aku bermimpi b*sah dengan mbak Sinta. Aku bermimpi berc*nta dengannya, dan paginya aku dapati cel*na d*lamku basah. Wah, mimpi yang indah.
Paginya, mbak Sinta selesai menyiapkan sarapan. Anak-anaknya sarapan. Aku baru keluar dari kamar mandi. Melihat mereka dari kejauhan. Mbak Sinta tampak mencoba untuk menghindari pandanganku. Kami benar-benar canggung pagi itu.
Hari ini nggak ada kuliah. Aku bisa habiskan waktu seharian di rumah. Setelah ganti baju aku keluar kamar. Tampak mbak Sinta melihat-lihat isi kulkas.
“Waduh, wan, bisa minta tolong bantu mbak?”, tanyanya.
“Apa mbak?”
“Mbak mau belanja, bisa bantu mbak belanja? Sepertinya isi kulkas udah mau habis”,katanya.
“OK”
“Untuk yang tadi malam, tolong jangan diungkit-ungkit lagi, aku maafin kamu tapi jangan dibicarakan di depan anak-anak”, katanya.
Aku mengangguk.
Kami naik mobil mengantarkan anak-anak mbak Sinta sekolah.
Lalu kami pergi belanja. Lumayan banyak belanjaan kami. Dan aku menggandeng tangan mbak Sinta. Kami mirip sepasang suami istri, mbak Sinta rasanya nggak menolak ketika tangannya aku gandeng.Mungkin karena barang bawaannya banyak.
Di mobil pun kami diam. Setelah belanja banyak itu kami tak mengucapkan sepatah kata pun. Namun setiap kali aku bilang ke mbak Sinta bahwa perasaanku serius. Hari-hari berlalu. Aku terus bilang ke mbak Sinta bahwa aku cinta dia.
Dan hari ini adalah hari ulang tahunnya. Aku membelikan sebuah gaun. Aku memang menyembunyikannya. Gaun ini sangat mahal, hampir dua bulan uang sakuku habis. Terpaksa nanti aku minta ortu kalau lagi butuh buat kuliah.
Saat itu anak-anak mbak Sinta sedang sekolah. Mbak Sinta merenung di sofa. Aku lalu datang kepadanya. Dan memberikan sebuah kotak hadiah.
“Apa ini?”, tanyanya.
“Kado, mbak Sintakan ulang tahun hari ini”,
Ia tertawa. Tampak senyumnya indah hari itu. Matanya berkaca-kaca ia mencoba menahan air matanya. Ia buka kadonya dan mengambil isinya. Aku memberinya sebuah gaun berwarna hitam yang mewan.
“Indah sekali, berapa harganya?”, tanyanya.
“Ah nggak usah dipikirkan mbak”, kataku sambil tersenyum. “Ini kulakukan sebagai pembuktian cintaku pada mbak”
“Sebentar ya”, katanya. Ia buru-buru masuk kamar sambil membawa gaunnya.
Tak perlu lama, ia sudah keluar dengan memakai baju itu. Ia benar-benar cantik.
“Bagaimana wan?”, tanyanya.
“Cantik mbak, Superb!!”, kataku sambil mengacungkan jempol.
Ia tiba-tiba berlari dan memelukku. Erat sekali, sampai aku bisa merasakan d*d*nya. “Terima kasih”
“Aku cinta kamu mbak”, kataku.
Mbak Sinta menatapku. “Aku tahu”
Aku memajukan bib*rku, dan dalam sekejap bib*rku sudah bersentuhan dengan bib*rnya. Inilah first kiss kita. Aku menc*umi bib*rnya, mel*matnya, dan mengh*sap l*dahnya. L*dahku bermain di dalam mulutnya, kami berp”nggutan lama sekali.
Mbak Sinta mengangkat p*ha kirinya ke pinggangku, aku menahannya dengan tangan kananku. Ia jatuh ke sofa, aku lalu mengikutinya.
“Aku juga cinta kamu wan, dan aku bingung”, katanya.
“Aku juga bingung mbak”
Kami berc*uman lagi. Mbak Sinta berusaha melepas bajuku, dan tanpa sadar, aku sudah hanya berc*lana d*lam saja. Pen*sku yang men*gang menyembul keluar dari C*. Aku membuka resleting bajunya, kuturunkan gaunnya, saat itulah aku mendapati dua buah bukit yang ranum.
D*d*nya benar-benar besar. Kuc*umi put*ngnya, kul*mat, kukunyah, kuj*lati. Aku lalu menurunkan terus hingga ke bawah. Ha? Nggak ada C*? Jadi tadi mbak Sinta ke kamar ganti baju sambil melepas C*-nya.
“Nggak perlu heran Wan, mbak juga ingin ini koq, mungkin inilah saat yang tepat”, katanya.
Aku lalu benar-benar menc*umi kew*nitaannya. Kul*mat, kuj*lat, kuh*sap. Aku baru pertama kali melakukannya. Rasanya aneh, tapi aku suka. Aku cinta mbak Sinta. Mbak Sinta meremas rambutku, menjambakku. Ia menggelinjang.
Kuciumi p*hanya, betisnya, lalu ke jempol kakinya. Ku*mut jempol kakinya. Ia ter*ngs*ng sekali. Jempol kaki adalah bagian paling sensitif bagi wanita.
“Tidak wan, jangan.AAAHH”, mbak Sinta mem*awik.
“Kenapa mbak?” kataku.
Tangannya mencengkram lenganku. V*ginanya basah sekali. Ia memejamkan mata, tampak ia menikmatinya.
“Aku keluar wan”
Ia bangkit lalu menurunkan C*-ku. Aku duduk di sofa sambil memperhatikan apa yang dilakukannya.
“Gantian sekarang”, katanya sambil tersenyum.
Ia memegang pen*sku, diremas-remas dan dipijat-pijatnya.
Oh aku baru saja merasakan pen*sku dipijat wanita. Tangan mbak Sinta yang lembut, hangat lalu meng*c*k pen*sku. Pen*sku makin lama makin panjang dan besar. Mbak Sinta menjulurkan l*dahnya. Dia j*lati bagian pangkalnya, ujungnya, lalu ia masukkan ujung pen*sku ke dalam mulutnya.
Ia h*sap, ia basahi dengan l*dahnya. Ohh sensasinya luar biasa.
“Kalau mau keluar, keluar aja nggak apa-apa wan”, kata mbak Sinta.
“Nggak mbak, aku ingin keluar di situ aja?”, kataku sambil memegang l*ang kew*nitaannya.
Ia mengerti, lalu aku didorongnya. Aku berbaring, dan ia ada di atasku. P*hanya membuka, dan ia arahkan pen*sku masuk ke l*ang itu. Agak seret, mungkin karena memang ia tak pernah berc*nta selain dengan suaminya. Masuk, sedikit demi sedikit dan bless.
Masuk semuanya. Ia bertumpu dengan sofa, lalu ia gerakkan atas bawah.
“Ohh…. wan,,,, enak wan”, katanya.
“Ohhh mbak,,,,, Mbak Sintaiii ahhh!!!!!”, kataku.
D*d*nya naik turun. Montok sekali, aku pun mer*mas-r*mas d*d*nya. Lama sekali ruangan ini dipenuhi suara d*sahan kami dan suara dua daging beradu. Plok!!!!!!!plok..plok..cplok..!!
“Waan,,,,,,,,mbak keluar lagi. AAAHHHH”
Mbak Sinta ambruk di atasku. D*d*nya menyentuh d*d*nku, aku memeluknya erat. V*ginanya benar-benar menjepitku kencang sekali. Perlu sedikit waktu untuk ia bisa bangkit. Lalu ia berbaring di sofa.
“Masukin wan, puaskan dirimu, semprotkan cairanmu ke dalam r*himku. Mbak rela punya anak darimu wan”, katanya.
Aku tak menyia-nyiakannya. Aku pun memasukkannya. Kudorong maju mundur, posisi normal ini membuatku makin keenakan. Aku menindih mbak Sinta, kupeluk ia, dan aku terus menggoyang pinggulku. Rasanya udah sampai di ujung. Aku mau meledak. AAHHHH.
“Oh wan,,,,wan,,,,,,mbak keluar lagi”, mbak Sinta mencengkram punggungku. Dan aku menemb*kkan sp*rmaku ke r*himnya, banyak sekali, sp*rma perjaka. V*ginanya mbak Sinta mencengkramku erat sekali, aku keenakkan. Kami kelelahan dan tertidur di atas sofa, Aku memeluk mbak Sinta.
Siang hari aku terbangun oleh suara HP. Mbak Sinta masih di pelukanku. Mbak Sinta dan aku terbangun. Kami tertawa melihat kejadian lucu ini. Waktu jamnya menjemput anak-anak mbak Sinta sepertinya. Mbak Sinta menyentuh pen*sku.
“Ini luar biasa, mbak Sinta sampe keluar berkali-kali,
“Wan, kamu mau jadi suami mbak?”
“eh?”, aku kaget.
“Sebenarnya, aku dan ibumu itu bukan saudara kandung. Tapi saudara tiri. Panjang ceritanya. Kalau kamu mau, aku rela jadi istrimu, asal kau juga mencintai anak-anakku, dan menjadikan mereka juga sebagai anakmu”, katanya.
Aku lalu memeluknya, “aku bersedia mbak”.
Setelah itu entah berapa kali aku mengulanginya dengan mbak Sinta, aku mulai mencoba berbagai gaya. Mbak Sinta sedikit rakus setelah ia menemukan partner s*x baru.
Ia suka sekali meng*ral punyaku, mungkin karena punyaku terlalu tangguh untuk l*ang kew*nitaannya. hehehe tapi itulah cintaku, aku cinta dia dan dia cinta kepadaku. Kami akhirnya hidup bahagia, dan aku punya dua anak darinya. Sampai kini pun ia masih seperti dulu, tidak berubah, tetap cantik.